Rajawaliborneo.com.    Kayong Utara, Kalimantan Barat – Nelayan Pulau Maya Melawan! Rencana pembangunan smelter bauksit di Pulau Maya telah memicu keresahan mendalam di kalangan masyarakat pesisir. Melalui Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kayong Utara, Ketua DPC HNSI, Kasrin, menyampaikan pernyataan tegas. Mereka mendesak DPRD Kayong Utara segera bertindak untuk menghentikan proyek tersebut.

Dalam surat resmi yang diajukan pada 19 Desember 2024, HNSI mengungkapkan keresahan masyarakat yang khawatir smelter tambang bauksit pemurnian alumina akan merusak ekosistem laut dan menghancurkan mata pencaharian utama para nelayan. Ketua DPC HNSI menyebut rencana ini sebagai ancaman serius bagi kelangsungan hidup masyarakat Pulau Maya.

“Kami tidak bisa tinggal diam jika laut yang menjadi sumber kehidupan kami dihancurkan. Ini tentang masa depan kami dan anak cucu kami,” tegas Kasrin.

Surat tersebut menyoroti kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan smelter. Warga menilai pemerintah dan perusahaan tambang telah bertindak sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem pesisir serta sosial ekonomi masyarakat. HNSI mendesak evaluasi ulang terhadap Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) untuk memastikan kelestarian kawasan tersebut.

Keresahan masyarakat ini semakin mencuat setelah pemberitaan media pada 6 Desember 2024 mengenai rencana pembangunan smelter. Isu ini memicu keresahan di lima desa di Kecamatan Pulau Maya. Salah seorang nelayan setempat menyampaikan keluhannya, “Kami ini nelayan kecil yang hanya bergantung pada laut. Jika laut dirusak, kami mau makan dari mana? Apakah perusahaan peduli pada nasib kami?”

Masyarakat mendesak DPRD Kayong Utara segera memfasilitasi audiensi terbuka yang melibatkan perwakilan nelayan, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang. Audiensi ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk memastikan proses perizinan tambang tidak hanya mengutamakan investasi, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat lokal.

DPRD Kayong Utara kini berada di bawah tekanan publik untuk membuktikan komitmennya sebagai wakil rakyat. Kasrin menambahkan, “Kami tidak menolak pembangunan, tetapi bukan pembangunan yang merusak masa depan kami.”

Sebagai catatan, konflik serupa pernah terjadi di Pulau Penebang pada tahun 2015, ketika sebuah perusahaan tambang berjanji memberikan kompensasi sebesar Rp150 juta per kepala keluarga. Namun, hingga kini janji tersebut belum terealisasi. Pengalaman ini menambah kekhawatiran masyarakat Pulau Maya terhadap rencana pembangunan smelter.

“Jika pemerintah dan perusahaan benar-benar transparan dan terbuka, kami siap mendukung. Namun, kami meminta agar proyek ini memberi nilai tambah dan kesejahteraan bagi warga, sehingga tidak ada yang dirugikan,” ujar Kasrin.

Perlawanan masyarakat Pulau Maya kini menjadi simbol perjuangan mempertahankan hak-hak masyarakat kecil dari ancaman industrialisasi yang berpotensi merusak alam dan kehidupan tradisional. Semua mata kini tertuju pada DPRD Kayong Utara untuk menentukan langkah selanjutnya demi melindungi masa depan Pulau Maya serta generasi yang akan datang.

Pewarta : SPD.

error: Content is protected !!