Rajawaliborneo.com.            Jakarta – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, kembali menyoroti praktik sertifikasi jurnalis yang dikenal dengan istilah “uka-uka”. Menurutnya, kegiatan tersebut adalah ilegal karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Ia menegaskan bahwa hal ini hanyalah akal-akalan Dewan Pers bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk memeras para wartawan dan sebagai modus ajang korupsi. 

“Uka-uka itu sesungguhnya kegiatan ilegal. Tidak ada dasar hukumnya. Sertifikasi profesi dan keahlian yang benar itu melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dasar hukumnya jelas tertulis dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 23 Tahun 2004 yang sudah diperbarui dengan PP Nomor 10 Tahun 2018,” tegas Wilson Lalengke dalam keterangannya, Sabtu, 14 Desember 2024.

Uka-Uka dan Kebodohan Hukum

Wartawan senior itu juga menyebut bahwa aparat hukum yang seharusnya memahami peraturan malah tidak paham soal praktik uka-uka ini. Ia mengimbau masyarakat, khususnya wartawan, untuk tidak terjerumus dalam kebodohan yang disebabkan oleh ketidaktahuan mereka sendiri dan orang yang mengendalikan atau mengharuskan wartawan dan masyarakat pewarta untuk mengikuti kegiatan tersebut.

“Jika Anda bekerjasama dengan orang yang tidak paham masalah uka-uka, maka Anda menjerumuskan diri ke dalam kubangan kebodohan. Anda sendiri tidak paham, ikut pula arahan orang yang tidak paham,” kata Wilson Lalengke.

Oleh sebab itu, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini meminta wartawan untuk membaca UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang hanya terdiri atas 21 pasal, untuk memahami bahwa praktik uka-uka tidak memiliki dasar di dalam undang-undang tersebut.

Perbandingan dengan Profesional Non Uka-Uka

Lebih lanjut, Wilson Lalengke membandingkan hasil yang diperoleh pemegang sertifikasi uka-uka dengan para profesional di bidang jurnalistik seperti Karni Ilyas, Najwa Shihab, dan fotografer Darwis Triadi. “Pemegang sertifikat uka-uka hanya mendapatkan Rp50 ribu hingga maksimal Rp200 ribu dari kerjasama dengan pengusaha, pejabat, atau pemegang proyek. Sementara mereka yang tidak punya uka-uka, seperti Karni Ilyas, Najwa Shihab, dan lainnya, bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan juta rupiah karena mereka punya portofolio, rekam jejak, dan kemampuan profesional yang diakui masyarakat,” jelas lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris itu.

Menurut Wilson Lalengke, perbedaan ini mencerminkan pentingnya keahlian dan rekam jejak daripada sekadar mengandalkan sertifikasi yang tidak diakui, baik secara hukum maupun oleh masyarakat pengguna barang dan jasa-jasa.

Imbauan kepada Wartawan

Pada kesempatan yang sama Wilson Lalengke mengingatkan para wartawan untuk lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus oleh praktik-praktik ilegal seperti keharusan beruka-uka. “Cari tahu dan pahami aturan yang berlaku. Jangan malas membaca UU Pers dan menganalisa isinya. Itu langkah awal untuk menjadi wartawan yang profesional dan independen,” pesannya sambil menambahkan bahwa uka-uka selama ini telah dijadikan modus untuk menggarong uang rakyat di BUMN/BUMD oleh para dedengkot korupsi binaan dewan pecundang pers.

Tokoh pers nasional yang dikenal gigih membela kepentingan wartawan dan warga masyarakat di berbagai pelosok ini berharap agar wartawan dan aparat hukum lebih memahami duduk perkara terkait uka-uka. Dengan pemahaman yang baik, praktik-praktik ilegal yang merugikan para pekerja di dunia jurnalisme dapat dihentikan.

“Semoga rekan-rekan media paham dan tidak bertanya lagi soal uka-uka yaa. Terima kasih,” tutup Ketum PPWI, Wilson Lalengke.

Pewarta : JUMADI.

error: Content is protected !!