Rajawaliborneo.com. Kubu Raya, Kalimantan Barat – Dugaan praktik mafia pertanahan kembali mencuat, kali ini melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kubu Raya. Permasalahan ini terkait dengan penerbitan Surat Hak Milik (SHM) tahun 2004 Nomor 03400 atas nama Afifah, dengan luas 351 m² (tiga ratus lima puluh satu meter persegi). Tanah tersebut sebelumnya dibeli dari almarhum Bapak Hartono pada tahun 2004 ketika Afifah masih berdinas sebagai karyawan di salah satu bank di Kalbar. Lokasi tanah ini terletak di Jalan Air Terjun, Sungai Raya Dalam, namun diduga mengalami perubahan lokasi yang tidak sesuai dengan data awal dalam sertifikat. Dalam penjelasannya kepada awak media, Selasa (24/12/2024).
Dok. Tanah Milik Afifah dengan penerbitan Surat Hak Milik (SHM) tahun 2004 Nomor 03400 atas nama Afifah, dengan luas 351 m².
Afifah mengungkapkan bahwa tanah miliknya yang awalnya berada di depan Jalan Air Terjun kini telah berpindah ke lokasi yang lebih dalam. Hal ini, menurutnya, tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan sertifikat yang telah diterbitkan secara sah oleh BPN Kabupaten Kubu Raya.
Baca Juga : Pengalihan Kasus Mafia Tanah ke Mabes Polri Dikritik Kuasa Hukum
“BPN Kabupaten Kubu Raya telah menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab. Sebagai lembaga yang seharusnya menjaga keadilan pertanahan, mereka justru diduga bermain-main dengan data tanah saya. Tanah saya yang awalnya berada di depan Jalan Air Terjun kini berpindah ke lokasi yang lebih dalam tanpa dasar hukum yang jelas. Apakah ini tindakan sengaja untuk menguntungkan pihak tertentu? Saya menuntut transparansi dan pertanggungjawaban mereka!” tegas Afifah.
Baca Juga : Mafia Tanah Bersumber Dari Oknum Kepala Desa, Lurah dan BPN.
Afifah juga mengkritik ketidakseriusan pihak BPN dalam menangani laporannya. “Sejak tahun 2021, saya sudah berupaya meminta penjelasan. Namun, yang saya dapatkan hanyalah jawaban berbelit-belit dan janji kosong. Hingga menjelang tahun 2025, masalah ini belum juga diselesaikan. Ini bukti nyata bahwa integritas BPN Kubu Raya patut dipertanyakan,” tambahnya.
Afifah menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar berbagai aturan hukum, antara lain:
1. Pasal 263 KUHP Pemalsuan atau penggunaan surat palsu, termasuk sertifikat tanah, dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 menyebutkan bahwa penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau orang lain dapat dikenakan pidana penjara hingga 20 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
3. Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya hingga merugikan masyarakat dapat dikenakan sanksi pidana.
4. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Oknum yang terbukti memalsukan atau memindahkan data pertanahan dapat dikenakan sanksi administrasi berat, termasuk pemberhentian dari jabatan.
“Undang-undang sudah mengatur sanksinya, tapi hingga kini tidak ada tindakan nyata dari pihak BPN. Jika kasus ini tidak segera diselesaikan, saya akan menempuh jalur hukum dan melaporkan ini ke pihak yang lebih tinggi,” tegas Afifah.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BPN Kabupaten Kubu Raya belum memberikan tanggapan resmi. Kasus ini terus menjadi perhatian publik karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang bertugas menjaga legalitas dan keadilan pertanahan. (**)
Pewarta : Redaksi.